Murid Di Hadapan Sang Guru


Ada beberapa jenis murid di hadapan sang guru,
Ada yang berlagak sudah pandai dan mahir terlalu,
Ada pula yang diam takzim kepada guru,
mendengar pelajaran dengan teliti mencari tuju

Yang berlagak pandai kadang mengejek guru,
Katanya sang guru kurang arif dan kurang Ilmu,
Sewajarnya orang melihat hujahnya yang fasih itu,
Hujah yang fasih dan indah itulah, katanya, yang harus ditiru

Kata-kata sang guru tidak menarik pendengaran,
Kadang kata-katanya pahit untuk ditelan oleh perasaan,
Guru yang benar tidak memilih kata-kata dalam pembicaraan,
Yang dipilih dan dipeliharanya ialah norma kebenaran

Murid sewajarnya tidak menjadi peniru,
Daripada pakaian yang membalut tubuh sang guru,
Tetapi hendaklah menjadi pengikut daripada roh diri sang guru,
Darah, daging, jantung hatinya, menjadi dirimu

Nukilan As-Salam,
Sebuah puisi mistik dan kerohanian.

Ulasan saya :

Intipati daripada penulisan As-Salam mengajak kita berbicara serta merenung sedalam-dalamnya beberapa persoalan berkenaan dengan panduan belajar bagi penuntut ilmu ya’ni
   1.       Apakah adab kita bila berguru?
   2.       Sejauh mana guru itu perlu disanjungi dan dihormati?
   3.       Bolehkah kita menegur  / mengkritik kesalahan yang dilakukan oleh sang guru ?
   4.       Pada sisi manakah kita harus belajar mengikut jejak langkah sang guru?

Merujuk kepada sebuah kitab yang dijadikan bahan wajib baca di pondok, sebuah kitab yang diberi nama Ta’alim al-Muta’allim Thariq al-Ta’allum (Pelita Penuntut @ Panduan Belajar bagi Penuntut Ilmu@ nama2 yang hampir serupa dengannya)- berkata sang guru yang mulia , Syeikh al-Zarnuji, yang paling wajib diajar serta belajar pada sang murid adalah adalah ilmu etika atau akhlak, atau adab. Kerana tanpa ‘adab, manusia akan rapuh dalam penilaiannya, akan gelojoh dalam keputusan, akan sentiasa silap memberi pandanganya. Tanpa adab, masyarakat semakin hilang pertimbangan, terus berlakulah apa yang selalu disebut oleh Prof Syed Muhammad Naquib al-attas sebagai kekeliruan ilmu. Adab merupakan intipati pendidikan ilmu, dan dengan sebab itu, manusia yang beriman dan beramal soleh adalah manusia yang sentiasa menjaga setiap sisi lapisan dirinya dengan adab.

Disebutkan lagi didalam kitab Syeikh Az-Zurnuji ini juga, “ahli ilmu haruslah bersikap tawadhu’, sikap antara sombong dan rendah diri, serta bersikap iffah iaitu menjaga diri dari perbuatan rendah dan dosa. Menurut Habib Ali al Jifri, kesombongan itu adalah suatu kejahilan. Dan segala kerosakan yang berlaku dibumi ini adalah disebabkan dengan sifat sombong.

Justeru, amat sesuai sekali, seandainya intipati puisi diatas direnung dan difikir secara dalami bahawa sang murid bisa saja meniru pakaian zahir gurunya itu tapi gagal mengambil ibrah daripada sifat rohani gurunya yang semestinya punya hikmah mendalam. Teringat jua penulis bila menerima teguran dari guru penulis, katanya, “bersabarlah dalam menuntut ilmu, bahkan jangan terlalu yakin bahawa kamu sudah cukup memahami apa yang ditulis didalam kitab itu, terlalu banyak rahsia ulama terdahulu bila dikarangnya suatu ilmu”.





Hazabe al-Kelantani

Dari Norma Kehidupan, Dulu Luar Biasa, kini Biasa-biasa aje…


Orang tua selalu berkata, ‘alah bisa, tegal biasa’. Namun disebalik kalimat yang diungkapkan belum tentu menjamin apakah yang bakal menjadi kebiasaanya selepas ini. Kalau dahulu, bicara saja soal aurat, sudah pasti menjadi perbincangan hangat dalam media perdana. Kini, cara pemakaian bukan lagi isunya, apatah lagi pakaian yang mampu menggocang iman seseorang. Kerana apa? Kerana “alah bisa tegal biasa”.

Kalau dahulu bicara soal murtad menjadi topik hangat yang berlegar di setiap kawasan. Apatah lagi, yang murtad itu sudah berani mengisytiharkan dirinya murtad secara terbuka. Meskipun dicemuh dan dipandang jelek oleh orang Islam kebanyakkan, namun kini, murtad bukan suatu perkara yang baru. Ibu bapa sendiri sudah tidak kisah agama apakah yang anaknya anuti selepas berkahwin dengan seorang yang menganut agama lain. Sepi tanpa sebarang bantahan. Kenapa? Kerana “alah bisa tegal biasa”.

Kini, perempuan merokok pula sudah bermaharaja lela mengalahkan lelaki dalam soal jual beli rokok. Kalau dulu, pertama kali memandang perokok wanita, memang agak jelek dan loya sehingga menimbulkan pelbagai tanggapan. Kini, amalam merokok dalam kalangan wanita sudah tidak asing lagi. Kerana apa? Alah bisa tegal biasa.

Tak mustahil juga, kalau soal agama yang melibatkan sumpah laknat, qazaf, li’an yang jarang-jarang didengar akan menjadi suatu kebiasaan. Sebabnya, alah bisa tegal biasa.

Benarlah kata Tun Dr Mahathir Mohamad, orang kita mudah lupa. Mula-mula saja yang bersemangat, tapi akhirnya senyap sepi tanpa serius dalam menangani masalah-masalah ini. Jadi tidak hairanlah, hari ini kita mengutuk orang yang memutar belitkan kenyataan, esok, kita akan rasa itu adalah kebiasaanya.  Tengok saja sindrom rancangan reality tv, (ie. Melodi, fuhh dll). Bukankah apa yang dibicarakan itu hanya suatu keaiban. Kenapa perlu dipublisitikan? Memang rasanya seronok barangkali, bila keburukan dan keaiban orang disebar umum buat suatu hiburan masakini. Seperti ungkapan tadi, alah bisa tegal biasa.

Hah, biarkan mereka dengan cara mereka, kau dengan cara kau. –Hujah sebegini memang selalu dibenci, malah dilabel pada kita sebagai ‘jaga kain orang’. Sudahlah demikian, kalau faham agama itu sudah tidak dapat diserapi sepenuhnya, memang apa guna solat berjemaah bersama-sama. Bukankah itu simbolik pada keutuhan ummah. Yang keruh dijernihkan, yang salah diperbetulkan. Kalau bisa sudah selamat menempuh jalan duniawi, bakal dijamin syurga yang hakiki, tiada masalah. Tapi kalau sendiri yang menjadi masalah, dan memberi masalah pada generasi masakini, saya tertanya-tanya, bagaimana kehidupan generasi masa depan dengan fenomena sebegini.



Hazabe al-Kelantani

Siapakah Wira?


Berani saja belum boleh dibangga
Gigih berjuang belum boleh dianggap wira
Berkorban berhabisan-habisan belum boleh dianggap mulia
Kerana berjuang sampai masuk penjara belum boleh dipuji dan dipuja
Mulia itu bukan kita yang mengukurnya
Yang menentukan ialah Tuhan kita
Seorang yang mulia, seorang wira ada syarat-syaratnya
Ada ciri-ciri tersendiri
Orang yang menegakkan hukum Islam pada dirinya
Kemudian diperjuangkan di dalam kehidupan
Akhlak mulia terserlah sekali
Nasihatnya berhikmah dengan halusnya
Bila ada ujian tidak hilang pertimbangan
Bila datang nikmat tidak terpesona
Prinsipnya tidak berubah di dalam sebarang keadaan
Segala yang dibuat untuk keredhaan Tuhannya.
(merakam nasihat dari arwah guru)

Perkongsian dari rakan blog, disini

 Diambil dari nota facebook nukilan Siti Fauziana

* nama fb: Siti Fauziana



Hazabe al-Kelantani

Semoga Aku Seorang Muslim Sejati


Oleh Dr. Khalif Muammar

Semoga Aku Seorang Muslim Sejati-
(Jawaban atas artikel: Andai Aku Seorang Muslim Liberal oleh Haidar Bagir)


Pertama: Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan meyakini bahwa aku berada
dalam kebenaran. Bagiku Islam dan iman adalah hidayah dan nikmat yang telah
Allah kurniakan kepadaku, karenanya keyakinanku tidak mungkin bersifat tentatif.
Hanya dengan keyakinan seperti ini aku mampu menyampaikan pesanan Tuhan dengan
pasti (‘ala basiratin). Karena diperkuat dengan ilmu, keimananku terhadap Allah,
al-Qur’an dan Nabi Muhammad serta risalah yang dibawanya tidak akan goyah
meskipun terdapat tuduhan dan distorsi ke atas ajaran Islam.

Setelah mendalami ilmu-ilmu Islam, dan bukan secara a priori maupun taqlid,
aku mengerti bahwa Iman bukan hanya suatu kepercayaan, tetapi merupakan
keyakinan di dalam lubuk hati, pernyataan melalui lisan dan dibuktikan dengan
perbuatan sebagai tanda berserah diri kepada kehendak Yang Maha Esa. Aku
memahami Ibadah bukan hanya sebatas ritual dan spiritual, tetapi sebagai
penghambaan diri terhadap Allah swt dalam segenap bidang kehidupan. Keyakinanku
akan kebenaran ajaran Islam bertitik tolak daripada keyakinanku bahwa knowledge
is possible dan seperti diungkapkan oleh al-Nasafi bahwa hakikat sesuatu itu
tetap dan ilmu mengenainya adalah sesuatu yang pasti (haqa’iq al-ashya’ thabitah
wa al-ilmu biha mutahaqqiqun).


Kedua: Aku bersetuju dengan pandangan para sarjana Muslim, seperti Muhammad
Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis
ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan tamadun Islam adalah melalui
pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan Ummat. Maka tanggungjawab
para cendekia Muslim adalah membebaskan umat Islam dari belenggu kejahilan
termasuk kejahilan tentang Islam itu sendiri. Pada hari ini yang menjadi kendala
adalah kekeliruan epistemologi: ketidakmampuan kaum intelektual Muslim mengatasi
polemik akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan dan kejahilan ini. Aku
melihat bahwa justeru sebagian intelektual Muslim dipengaruhi pemikiran sekular
Barat dan terperangkap dalam dikotomi: liberal versus literal, sakral versus
mundane, objektif versus subjektif, progresif versus konservatif, teokrasi
versus demokrasi. Dualisme dan dikotomi berlaku di Barat karena kegagalan Gereja
mengakomodasi modernity dan kemajuan manusia.

Bagiku, Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Cukup
tinggi karena dengannya misi kekhalifahan hanya mungkin tercapai tetapi tidak
terlalu tinggi untuk didewakan atau disejajarkan dengan wahyu. Akal dan
kebenaran yang diperolehinya tidak berdiri sendiri. Setelah mendalami
epistemologi Islam, aku mengerti bahwa kebenaran sains harus tunduk kepada
kebenaran wahyu dan bukan sebaliknya. Akal dan sains harus akur dengan
keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan
secara saintifik. Bagi kaum sekular kebenaran sains dan kebenaran agama dilihat
secara terpisah. Bagiku kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari
Tuhan, karena sains mengkaji fenomena kejadian makhluk Tuhan yang mengikuti
sunnatullah. Demikian juga, kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan
kebenaran akal, jika akal memperolehinya dengan metode yang benar.

Sebagai seorang Muslim sejati, aku mengerti bahwa al-Qur’an sebagai pembimbing
akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang.
Tugas akal fikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya. Bagiku, tiada
dikotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena, seperti
dinyatakan oleh mantan Shekh al-Azhar Abdul Halim Mahmud, Al-Qur’an adalah kitab
akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari
lingkarannya yang sempit.

Rabunnya umat Islam dalam membaca dan lumpuhnya mereka dalam berfikir tiada
kaitan dengan al-Qur’an. Karena sehebat manapun pembimbing tidak akan bermakna
apa-apa kalau yang dibimbing tidak ada kemahuan untuk memperbaiki dirinya. Oleh
karenanya aku sedar, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga ia perlu dirubah
dan bukan juga salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam
karena memiliki apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal “ego (khudi) yang lemah”
atau meminjam istilah Malik Bennabi, mempunyai sikap qabiliyyat li al-isti’mar
(kecenderungan untuk dijajah).

Ketiga: Dalam menghadapi kemajuan (modernity), yang pada hari ini disinonimkan
dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka (silau) dan tidak juga
tertutup (konservatif). Islam mengajarku untuk selalu berusaha menggapai
kecemerlangan dan membangunkan diri, bangsa dan masyarakat. Melalui pembacaanku,
aku sedar bahwa Islam telah disalahfahami oleh sebagian umat Islam yang anti
kemajuan dan anti perubahan. Tetapi juga di sudut yang lain, Islam telah
disalahfahami oleh golongan Muslim sekular yang menganggap agama sebagai
penyebab kemunduran, oleh karenanya, menurut mereka agama perlu dibatasi hanya
pada ruanglingkup kehidupan peribadi.

Untuk mengatasi dualisme pemikiran ini, aku menyadari perlunya rekonsepsi
(membetulkan kefahaman) terhadap Islam. Melalui penulisan para sarjana Muslim
yang otoritatif aku mengerti bahwa Islam sebenarnya bersifat
transformatif-liberatif: membawa misi perubahan dan pembebasan manusia
sebagaimana terbukti pada generasi awal Islam. Apabila realitasnya pada hari
ini Islam tidak menjadikan ummat Islam maju dan bebas dari segala bentuk
belenggu dan penindasan, ini bermakna wujudnya korupsi dalam memahami Islam. Aku
yakin, seandainya Islam difahami dengan betul dan dilaksanakan dengan baik maka
Islam mampu menjadi civilizing force, sebagaimana telah terbukti dalam sejarah
Islam.

Keempat: Aku akan menjadikan tradisi sebagai landasan untuk aku berpijak.
Bagiku tiada sebab mengapa aku harus membenci tradisi karena ia tidak
membelengguku atau menghalangku untuk maju dan menjawab permasalahan zaman
mengikut keyakinanku. Bagiku, masa lalu amat penting karena tiada seorang pun
manusia yang mampu mengetahui jati dirinya tanpa memikirkan masa lalunya. Aku
berbangga dengan pencapaian para ulama silam, meskipun aku sedar kebesaran
mereka tidak seharusnya menjadikan generasi hari ini kerdil. Justeru, dengan
khazanah yang mereka tinggalkan aku harus mampu lebih maju lagi kedepan.

Ketinggian golongan ulama bagiku adalah karena tawfiq dan inayah Allah swt dan
dekatnya mereka akan nuansa dan legasi yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
Karenanya, baik ulama klasik maupun kontemporer adalah golongan yang diberi
amanah oleh Allah dan bukan status sosial maupun keagamaan yang bisa
dibanggakan. Oleh karenanya amanah ini mesti dilaksanakan dengan berani dan
jujur. Namun demikian, aku sedar, mereka tidak suci atau ma’sum dan mereka bukan
wakil Tuhan. Segala pandangan mereka harus kuterima selama mereka punya hujjah
yang kuat dan terbukti kebenarannya, namun andainya terbukti bahwa pandangan
mereka ternyata tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran al-Qur’an dan
al-Sunnah, maka tidak perlu kuterima. Sepanjang pengetahuanku, Golongan ulama
ini tidak bisa disamakan dengan golongan agama yang punya hak paten dalam
memahami agama dan berbicara atas nama Tuhan. Karena bagiku, semua orang Islam
adalah golongan agama yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di muka bumi.

Kelima: Aku mempelajari filsafat Barat untuk tujuan perbandingan. Aku tidak
akan terikut-ikut karena sebagai seorang Muslim aku memiliki worldview dan
framework tersendiri dalam berfikir. Aku tidak tertegun dengan konsep cogito
ergo sumnya Descartes, atau existence preceeds essencenya Sartre, atau knowledge
is powernya Foucault dan Bacon, hatta dalam perkara tertentu aku langsung tidak
tertarik untuk mengagungkan contohnya Locke karena konsep natural rights: life,
liberty and property. Aku tidak merasa heran dengan filsafat Barat karena aku
sudah terlebih dahulu mengetahui bahwa, seperti diungkapkan oleh Muhammad Iqbal,
the birth of Islam is the birth of inductive knowledge, juga seperti diungkapkan
oleh al-Ghazali dan al-Shatibi bahwa hukum Islam sebenarnya dibuat untuk
melindungi kemaslahatan/kebaikan ummat manusia: agama, jiwa, akal, kehormatan
dan harta. Aku mempelajari pemikiran Barat untuk memahami Barat. Dengan
demikian aku dapat memperkukuh keyakinanku dan kalau aku
mampu, seperti yang telah dilakukan oleh imam al-Ghazali, membatalkan
tesis-tesis mereka yang mengelirukan dan dengan itu aku telah berjuang untuk
Islam.

Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa akal tidak bisa dijadikan setanding
dengan wahyu. Sebagai peneliti Muslim aku percaya bahwa pencarian akal dalam
Islam dibimbing oleh wahyu. Oleh karenanya terdapat ruang objektivitas dan ruang
subjektivitas yang perlu dihormati: ruang yang pasti di mana tidak perlu untuk
akal bereksperimen di samping juga ruang untuk perbedaan penafsiran selama dalam
framework Islam. Teori mengenai realitas kehidupan yang selalu berubah dan
terlalu dominannya elemen subjektivitas dalam filsafat Barat, bagiku membuktikan
bahwa Barat dengan rasionalismenya tidak akan menemukan jalan kebenaran. Maka
aku mendapati bahwa semakin jauh pengetahuanku terhadap filsafat Barat semakin
dekat diriku terhadap kebenaran Islam.

Islam mengajarku agar mengambil hikmah/kebijaksanaan dari mana saja datangnya.
Oleh karenanya tidak salah, malah digalakkan, mempelajari Sains dan Teknologi
yang hari ini dikuasai oleh Barat agar dengannya ummat ini dapat mengecapi
kemajuan dan merealisasikan misinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Aku
akan mempelajari filsafat Barat agar aku mampu untuk membuat perbandingan dan
penilaian sebelum aku mampu menyumbang dalam wacana keintelektualan Islam.
Namun, aku sedar sebagaimana ditekankan oleh al-Attas bahwa ilmu pengetahuan
Barat tidak value-free (bebas nilai), aku tetap akan meyakini hal ini walaupun
andainya Thomas Kuhn tidak menulis The Structure of Scientific Revolutionsnya,
oleh karenanya aku harus mampu membedakan antara ilmu dengan nilai-nilai sekular
yang mengiringinya sebelum proses Islamisasi dapat kulakukan. Penghormatanku
terhadap keintelektualan Barat tidak seharusnya menjadikanku hanyut sehingga
merubah jati diriku.

Keenam: Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan melaksanakan Islam sebagai
satu cara hidup yang lengkap, oleh karenanya aku akan menentang sekularisme dan
sekularisasi di dunia Islam. Bagiku, orang yang memisahkan Islam dari segenap
aspek kehidupan manusia adalah orang yang sombong dan congkak. Karena menganggap
panduan dan bimbingan akal, yang dicipta oleh manusia-manusia sekular, lebih
baik daripada petunjuk al-Qur’an.

Aku sedar, keadilan, keharmonian dan keamanan hanya akan tercapai sepenuhnya
dengan mengikut ajaran al-Qur’an. Sedangkan demokrasi liberal, kapitalisme,
utilitarianisme dan isme-isme lainnya hanya menjanjikan angan-angan. Alasannya
jelas, ketika Islam berbicara mengenai keadilan, kesejahteraan, dan keharmonian
ia dikemas dengan keindahan iman, taqwa dan akhlak, sedangkan filsafat Barat
membicarakannya secara dikotomis.

Aku mengerti bahwa tipologi memberikan kelebihan kepada Barat, karenanya aku
harus berhati-hati agar tidak terpengaruh dengan labelisasi mereka. Label
fundamentalis diberikan oleh Media Barat, dengan pelbagai konotasi negatifnya:
terorisme, militan dll., keatas orang Islam yang menjadikan Islam sebagai cara
hidup. Kalau ternyata istilah fundamentalis tidak digunakan oleh Media terhadap
penganut agama lain yang melakukan hal yang sama maka jelas pelabelan ini
memiliki niat yang tersembunyi.

Dengan andaian ancaman gerakan fundamentalisme inilah maka dimasukkan wacana
liberal dalam pemikiran Islam. Tidak sedikit yang terperangkap dalam dualisme
dan dikotomi ini, oleh karenanya, dengan ilmu dan kebijaksanaan yang diberikan
oleh Islam, aku tidak seharusnya ikut terperangkap. Andai dapat dibuktikan bahwa
kemunculan golongan yang dikatakan fundamentalis ini tidak mengancam maka jelas
bahwa eksistensi mereka sebenarnya tidak berasas.

Ketujuh: Bagiku, metode hermeneutika hanya pantas diterapkan pada Bible. Ini
karena, baik dari segi sejarah maupun kandungan, al-Qur’an dan Bible jauh
berbeda. Tiada sebab untuk aku mengikuti metodologi pentafsiran Bible karena aku
tidak mengalami masalah yang dialami oleh penafsir-penafsir Bible. Mempelajari
al-Qur’an dengan ilmu, iman dan kejujuran membawaku kepada keyakinan akan
kesempurnaan al-Qur’an. Tiada satupun ayat di dalamnya yang boleh dikatakan
bermasalah atau kontradiktif. Selain itu, sebagaimana terbukti dengan kajian
al-‘Azami: The History of The Qur’anic Text, keistimewaan al-Qur’an adalah
terjaganya kemurnian dan kesucian al-Qur’an sepanjang sejarah. Hal inilah yang
sehingga kini dicemburui oleh kaum Orientalis yang berusaha untuk menggoyahkan
keyakinanku ini.

Penafsiran literal terhadap al-Qur’an memang sering dilakukan oleh para ulama.
Namun sering juga para ulama tidak terpaku pada makna literal, sebaliknya
melihat maksud ayat yang tersirat dan menyesuaikan nass-nass juz’iyy dengan
maqasid kulliyyyah Shari’at Islam. Setelah aku memperdalam ilmuku tentang
Shari’ah aku akan mengerti bahwa kedua-dua pendekatan literal dan liberal
terhadap maqasid shari’ah tidak tepat. Pendekatan yang benar dan selalu
ditekankan oleh ulama-ulama mu’tabar dari dulu hingga sekarang adalah pendekatan
yang oleh al-Qaradawi disebut dengan al-wasatiyyah.


Kedelapan: Sebagai seorang Muslim sejati, aku tunduk sepenuhnya dengan
perintah dan aturan yang diberikan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah. Shari’ah datang
daripada Allah swt dan bukan, sebagaimana yang sering diperkatakan oleh
Orientalis, produk para ulama. Bagiku, Shari’ah bukan hanya teks-teks suci, ia
juga bukan apa yang terkandung di dalam kitab-kitab Fiqh. Ketika Sayyidina Umar
menangguhkan hukum potong tangan pada ‘am al-maja’ah (tahun kelaparan),
ketetapan itu bukan pandangan subjektif beliau tetapi adalah hukum Shari’ah.
Karena beliau tidak terpaku pada teks secara literal tetapi mengembalikan
teks-teks juz’i kepada maqasid kulliyyah yang sebenarnya sebagian daripada
Shari’ah.

Oleh karena aku menyedari kelemahanku dalam menafsirkan al-Qur'an maka aku
merujuk kepada pandangan para ulama yang berotoritas. Mereka sangat berotoritas
karena mereka menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam memahami al-Qur'an.
Lebih daripada itu dengan bimbingan iman mereka juga faham akan kehendak Tuhan.
Bagiku ilmu adalah amanah dan pemberian Tuhan, oleh karenanya kepintaran
semata-mata tidak meletakkan seseorang itu menjadi orang yang otoritatif dalam
keilmuan Islam.


Kesembilan: Karena aku memiliki worldview Islam, Aku tidak akan hanyut dengan
tren pemikiran Barat yang kabur dan selalu berubah. Post-modernisme yang
menjadikan kegagalan dan kesempitan modenisme sebagai raison d’êtrenya hanya
mempunyai legitimasi di tengah obsesi Barat terhadap kuasa dan ketunggalan. Dari
awal kemunculan Islam, jelas bahwa Islam menerima pluralitas/kepelbagaian
sebagai lumrah kehidupan. Karena keadilan menjadi nilai utama dalam ajaran
Islam, Islam selalu berada bersama kaum yang tertindas, terlupakan dan
teraniaya. Konflik antara Islam dengan agama lain timbul disebabkan faktor
politik dan bukan faktor teologi. Hal ini tidak sesekali memberikan justifikasi
ke atas konsep pluralisme agama. Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa agama
Tuhan yang benar hanyalah satu, yang berbeda dan berbagai adalah shari’atNya.
Oleh karena Shari’at Muhammad adalah penutup maka hanya Shari’ah Muhammad saw
yang benar.

Keyakinanku bahwa hanya ada satu kebenaran tidak bercanggah dengan kemungkinan
wujudnya kebenaran pada orang lain. Dalam permasalahan ijtihadiyyah, aku tidak
akan mengatakan hanya pendapatku saja yang benar dan pendapat orang lain adalah
salah. Pendekatan para ulama ini tidak membawaku kepada subjektivisme, seperti
yang dilakukan oleh Khaled Abou el-Fadl, kerana ia hanya berlaku hanya pada
realm ijtihadiyyah. Bagiku, tidak mungkin Tuhan menurunkan wahyu sebagai
pembimbing manusia jika, pada masa yang sama, Tuhan mengatakan bahawa tiada yang
mengetahui maksud firmanNya melainkan diriNya. Kuatnya elemen subjektivisme dan
penghapusan objektivitas dalam pemikiran post-modernisme akan membawa kepada
nihilisme dan ketiadaan kebenaran. Tentunya hal ini akan memberik dampak yang
besar kepada agama dan kemanusiaan.

Terakhir, Aku akan sentiasa berdoa agar aku sentiasa berada dalam hidayah dan
‘inayahNya. Agar aku terhindar dari tergolong dalam orang-orang yang telah
menerima bayyinat lalu tersesatkan. Agar aku sentiasa berada dalam keimanan dan
ketaqwaan sampai akhir hayatku.


artikel Haidar Bagir boleh didapati disini dan disini
Hazabe al-Kelantani

Masalah ulama' hari ini - dualisme Ilmu

Kesalingkaitan antara Agama dengan Sains:
Ke Arah Meletakkan Semula Sains & Teknologi di bawah Pengarahan Shari‘ah Islamiyyah[1]
oleh
Dr. Adi Setia[2]

1. Pengenalan: Hubungkait antara ‘Ulum Naqliyyah dengan ‘Ulum ‘Aqliyyah
Imam al-Ghazali membahagikan ilmu kepada ilmu naqliyyah dan ilmu ‘aqliyyah, dan ilmu ‘aqliyyah dilihat sebagai berkhidmat kepada ilmu naqliyyah.[3] Maka dari hakikat itu, kita boleh faham bahawa, dalam konteks semasa ini, sains dalam Islam ialah sains yang berkhidmat kepada Islam. Ini turut bermakna bahawa sains dan teknologi semasa tertakluk di bawah sistem nilai, sistem ilmu dan sistem hukum Islam, lalu semestinya dihakimi oleh Shari‘ah Islamiyyah. Maka kita tak boleh membiarkan berlarutan suasana seperti sekarang di mana sains dan teknologi bebas bermaharalela tanpa terbatas dan terpandu oleh hukum-hakam agama, apatah lagi bila sudah jelas bagi kita semua bahawa terlalu banyak aspeks sains dan teknologi semasa banyak membawa bencana bukan manfaat kepada alam dan insan. Pendek kata, sains dan teknologi moden, termasuk segala kegiatan yang berkaitan dengannya, sememangnya tertakluk kepada sistem nilai Islam yang terangkum dalam al-Maqasid al-Shar‘iyyah (din, hayah, ‘aql, nasl, mal, ird) dan tidak terlepas daripada salah satu daripada hukum fiqh yang lima itu: wajib, mandub, ja’iz, makruh dan haram.[4]  Tetapi siapakah yang akan menghakimi ilmu sains semasa menurut hukum-hakam agama kalau bukan ahli agama itu sendiri, yang tahu-menahu mengenai hukum-hakam agama dan juga tahu-menahu akan ilmu-ilmu sains, khasnyaal-‘ulum al-tabi‘iyyah,[5] ‘ulum al-‘umran[6] dan al-‘ulum al-‘aqliyyah?
Imam al-Ghazali menghakimi ilmu-ilmu ‘aqliyyah Yunani purba setelah mula-mula (i) menguasainya seratus-peratus lalu mengarang Maqasid al-Falasifah, kemudian (ii) menghukumnya dengan mengarang Tahafut al-Falasifah lalu menyatakan apa yang benar dan apa yang palsu, serta apa diterima Shara‘ dan apa yang tertolak. Usaha-usaha beliau diteruskan oleh Imam-Imam besar kita yang lain selepas beliau seperti Fakhr al-Din al-Razi,[7] al-Amidi, al-Baydawi,[8] al-Nasafi,[9] al-Taftazani, al-Iji,  al-Jurjani, al-Jami‘, al-Raniri,[10] al-Nursi,[11] al-Thanvi.[12]
Pada zaman kita ini, usaha penapisan sedemikian diteruskan oleh Shaykh Nuh Ha Mim Keller, Profesor Seyyed Hossein Nasr,[13] Profesor Syed Muhammad Naquib al-Attas,[14] Dr. Harun Yahya,[15] Profesor Wan Mohd Nor Wan Daud,[16] Profesor Osman Bakar, Profesor Shaharir Mohamad Zain, Dr. Alinor, Dr. Muzaffar Iqbal, Dr. Adi Setia, Dr. Farid Shahran, Dr. Syamsuddin Arif, Dr. Zaidi Ismail serta jaringan cendikiawan kita dalam INSISTS, HAKIM, Ta’dib International, WIA, Andalus Institute, INSPEM, ISRU, Mu‘amalah Council, IIIT, CIS, MAAS, ATMA, AKK dan ASASI (dan kini mungkin juga termasuk ILIM!), dan juga melibatkan beberapa tokoh lain lagi lalu melahirkan gerakan ilmiah antarabangsa yang dikenali umum sebagai Pengislaman Ilmu dan Pengislaman Sains,[17] yang turut merangkumi Pengislaman Sains Tabii, Sains Sosial dan Sains Matematik.[18]
                Seperkara lagi, terlalu banyak tuntutan agama yang tak mungkin ditunaikan dengan sempurna dan baik kalau ilmu-ilmu sains dan matematik tertentu tak dikuasai atau dicipta terlebih dahulu. Tuntutan sembahyang dengan segala syarat-syaratnya seperti menghadap qiblat dan menentukan masa masuk waktu sembahyang (‘ilm al-tawqit) telah mencetuskan perkembangaan ilmu-ilmu geometri dan trigonometri (handasah), ilmu taqwim dan astronomi (‘ilm al-hay’ah). Tuntutan pembahagian harta pusaka menurut hukum fara’id mencetuskan penciptaan dan perkembangan ilmu aljabar (‘ilm al-jabr wa al-muqabalah).[19] Tuntutan mengerjakan haji, jihad, menuntut ilmu (al-rihlah fi talab al-‘ilm), memakmurkan bumi (‘imarat al-ard) dan perdagangan (al-intishar fi al-ard ibtigha’an li fadl Allah) mencetuskan perkembangan ilmu alam, ilmu pertanian, ilmu pemetaan dan ilmu pelayaran.[20] Tuntutan mengambil i’tibar daripada sejarah telah mencetuskan perkembangan ilmu sirah, ilmu tarikh, malah penciptaan ilmu baru, iaitu ‘ilm al-‘umran atau ilmu peradaban oleh Ibn Khaldun.[21] Tuntutan menjaga kesihatan dan pemakanan mencetuskan perkembangan ilmu pertanian (‘ilm al-filahah) dan ilmu perubatan (ilm al-tibb), termasuk ilmu-ilmu cabang yang berkaitan. Tuntutan mempertahankan serta menghuraikan lagi ‘aqidah Islamiyyah telah mencetuskan perkembangan ilmu kalam jadid oleh Imam al-Ghazali dan Imam Fakhr al-Din al-Razi,[22]serta dikembangkan lagi oleh ahli ilmu kalam yang datang kemudian seperti al-Iji dan al-Taftazani.
Pendek kata, tuntutan umum dalam al-Qur’an supaya umat Islam “yatafakkaruna fi khalq al-sama’i wa al-ard,” telah menggalakkan para ‘ulama’ Islam dahulu kala, termasuk ‘ulama Melayu-Islam kita, menguasai kedua-dua ilmu naqli dan ilmu ‘aqli dengan agak mendalam dan menyeluruh. Pergabungan terpadu antara naqliyyat dan ‘aqliyyat turut diusahakan oleh para ulama Melayu-Islam kita seperti yang jelas didedahkan oleh hasil penyelidikan al-Marhum Ustaz Wan Muhamad Saghir Wan Abdullah[23] dan juga Ustaz Zaidi Abdullah.
Maka apabila kita meneliti riwayat hidup da hasil karya ulama Islam dari zaman Imam al-Ghazali sampai kepada zaman awal abad keduapuluh ini,[24] kita dapati ramai yang menggabungkan antara ilmu naqli dan ilmu ‘aqli dengan sedemikian cara sehingga ilmu naqli menjadi pemandu kepada ilmu ‘aqli, dan ilmu ‘aqli pula berkhidmat kepada ilmu naqli, maka dengan yang demikian segala perkembangan ‘ulum ‘aqliyyat senantiasa sepanjang masa berada di dalam kerangka sistem nilai keilmuan dan keadaban Islam lalu diarahkan kepada memenuhi tuntutan al-Maqasid al-Shar‘iyyah. Hal demikian tidak menghairankan kerana mereka yang terlibat dalam pentadbiran negara atau kerajaan, atau memegang jawatan awam, atau yang bergiat dalam bidang kajian dan kerjaya sains dan teknologi juga adalah terdiri dari golongan ulama yang memiliki kelayakan yang tinggi dalam bidang naqliyyat dan ‘aqliyyat. Contohnya seperti Ibn Khaldun ulama besar yang juga pernah bertugas sebagai menteri besar dan penasihat sultan serta pernah juga berkhidmat sebagai duta bagi kerajaan Mamluk untuk berunding dengan Timur yang ganas itu. Begitu juga Ibn Rushd faqih dan qadi besar pengarang Bidayat al-Mujtahiddan juga ahli falsafah, ahli falak pengarang Mukhtasar al-Majisti dan juga terkenal sebagai ahli perubatan. Dan seperti juga al-Maqrizi, ulama besar lagi ahli sejarah tambah pula ahli ekonomi dan pakar ilmu kewangan Islam pengarang al-Nuqud al-Islamiyyahyang membantu kerajaan Mesir Mamluk masa itu mengatasi krisis ekonomi dan krisis kewangan yang melanda negara. Contoh lagi ialah semasa kerajaan ‘Uthmaniyyah di mana hanya orang yang sudah melalui pendidikan agama yang melalui sistem madrasah dibenarkan memasuki sekolah-sekolah perubatan untuk berlatih sebagai ahli perubatan. Di kalangan ulama Melayu-Islam kita pula ialah umpama Shaykh Ahmad al-Khatib al-Minangkabawi, imam Shafi‘iyyah di Makkah yang turut mengarang dalam bidang ilmu hisab pada tahap yang agak canggih.[25]
                Tapi pada zaman ini, khasnya sejak tahun limapuluhan akibat penjajahan barat, semakin membesar jurang pemisahan antara ilmu naqli dengan ilmu ‘aqli, khususnya antara ilmu agama dengan ilmu sains, sehingga boleh dikatakan hampir semua ilmuwan yang bergelar ulama tak menguasai ilmu sains, dan hampir semua ahli sains tak menguasai ilmu agama, lalu lahir gejala di mana kedua-dua bidang ilmu ini menuruti haluan masing-masing hatta ilmu sains terlepas sama sekali daripada panduan dan tujuan keagamaan lalu tertumpu seratus peratus kepada tujuan kebendaan sekular tajaan barat. Natijahnya, ilmu agama semakin terhimpit lagi tersepit kepada persoalan ibadat peribadi semata-mata (seakan-akan agama Kristian), sedangkan ilmu sains, termasuk ilmu sains sosial, menguasai seratus-peratus persoalan awam dan persoalan fardu kifayah atau persoalan al-masalih al-‘ammah (termasuk hal-hal berkaitan teknologi, industri, ekonomi dan dasar-dasar pendidikan dan kenegaraan). Akibatnya persoalan al-masalih al-‘ammah/al-mursalah[26] dikupas dan ditangani bukan dalam kerangka kefahamanan keagamaan tetapi dalam kerangka kefahaman kebendaan, khasnya, kerangka kefahaman sekular barat yang menolak sama-sekali kebenaran serta penilaian keagamaan. Akibatnya boleh dikatakan bahawa hampir semua kakitangan awam termasuk pegawai tinggi kerajaan jahil agama dalam hal-hal yang bersangkut dengan al-masalih al-‘ammahatau al-masalih al-mursalah dan kalaupun mereka ada ilmu pun itu cuma pada tahap aklibukan ‘amali.
Kini kita dapati gejala membimbangkan di mana para ulama tak mampu berkata apa-apa tentang sains atau gagal menyuarakan pandangan bernas lagi terperinci lagi kritis dalam bidang ‘aqliyyat itu meskipun terdapat banyak perkara dalam sains dan teknologi, termasuk sains sosial, yang bertentangan dengan hukum agama ataupun yang boleh dipersoalkan dari segi nilai agama, memandangkan kekurangan kemahiran mereka dalam menguasai bidang itu serta mengikuti apa yang berlaku dalam bidang itu. Yang lebih malang lagi, para ulama cuma diperalatkan untuk mengesahkan lalu mengiyakan segala apa yang dilakukan oleh ahli sains tabii dan ahli sains sosial, seperti yang berlaku semasa pameran sains dan teknologi Islam anjuran MOSTI seketika dahulu, dengan slogan ahli sains sebagai “ulul al-bab.” Jadi ulama kita bagai juru sorak sahaja di tepi pentas atau di atas mimbar mengiyakan apa-apa dasar awam tanpa kritis, sibuk memenuhi agenda yang dicipta oleh pembuat dasar yang jahil agama. Pendek kata, para ulama kini sekadar “rubber stamp” (cop tanpa soal) terhadap apa sahaja yang dihasilkan oleh sains dan teknologi moden, seolah-olah segala hasil itu baik belaka untuk “pembangunan dan kemajuan umat” kononnya.
Kemudian kita dapati pula gejala yang membahayakan di mana ahli sains tabii dan sains sosial bergiat dalam bidang mereka di luar pengawalan dan pengarahan lunas-lunas agama disebabkan (i) mereka sendiri jahil agama maka tak dipandukan agama; (ii) ahli agama kurang memahami sains maka tak mampu tegur mereka; dan (iii) ahli sains jahil sejarah dan falsafah sains maka tak mampu bersikap kritis terhadap ilmu dan amalan mereka sendiri. Apatah lagi bila golongan alim dunya jahil agama ini menguasai lapangan awam dan peranan mereka amat berpengaruh menentukan dasar-dasar negara dalam bidang sains, teknologi, industri, ekonomi, politik, pentadbiran, pendidikan, budaya, kebajikan awam, perundangan, pertanian dan sebagainya, padahal mereka semuanya dididik dan dilatih di barat atau dididik dan dilatih cara barat, cara sekular, lalu mereka laksanakan penyelesaian sekular di dalam masyarakat Islam-Melayu mereka sendiri, kerana mereka ingat sistem ilmu barat itu “bebas nilai” = apa yang berguna di barat seratus peratus berguna di timur. Itulah sistem pendidikan meniru membabi tuli atau taqlid buta yang diwarisi mereka dari barat, yang terlalu amatlah dibanggai mereka, siap dengan pelekat seperti Oxford University dan sebagainya di cermin belakang kereta mereka atau di belakang baju T mereka.
Yang lebih parah lagi ialah gejala di mana mereka yang bergelar ulama atau menduduki jawatan penting dalam pentadbiran agama turut kurang mahir dalam ilmu-ilmu aqliyyah yang selama ini sejak turun-temurun memang dikuasai oleh ahli agama berwibawa, seperti ilmu taqwim, ilmu tawqit, ilmu fara’id, ilmu falak atau ilmu hay’ah, ilmu mantiq, ilmu hisab, ilmu tibb, ilmu kalam, ilmu ekonomi dan ilmu sejarah. Kekurangan dari segi ilmu aqliyyah yang bersifat fardu kifayah seperti ini sudah tentu akan membantut keterlaksanaan tugas mereka sebagai mufti atau qadi atau imam besar atau pegawai tinggi pentadbiran agama atau pensyarah atau penasihat agama kepada kerajaan dan sebagainya, demi kerana mereka tak akan mampu memberikan pandangan ilmiah terhadap isu-isu penting yang bersangkutan dengan persoalan kepentingan awam, persoalan masyarakat madani serta dasar-dasar kerajaan mahupun dasar-dasar swasta yang menyentuh maslahah ‘ammah/mursalah. Natijahnya peranan mereka sebagai ulama penasihat, pembimbing atau penegur sekadar terbatas kepada persoalan ibadat dan munakahat semata-mata sedangkan bidang mu‘amalah, siyasah, budaya, sains, ekonomi, teknologi dan industri termasuk sudut-sudut kehidupan awam yang lain terlepas bebas daripada  pengawasan ilmiah dan moral mereka.[27]
                Kemudian di IPTA-IPTA kita, seperti di Universiti Malaya, memang wujud kursus atau kurikulum tertentu yang cuba gabungkan antara kelulusan agama dan kelulusan sains, tapi apa yang berlaku bukan pergabungan sebenar dalam ertikata ilmu sains itu diislamkan atau diagamakan lalu disepadukan secara kritis ke dalam kerangka keagamaan, malah yang berlaku ialah gejala “perseiringan” atau jalan seiring tapi di atas dua landasan berlainan sama sekali lalu terhasillah gejala dwi-sijil, katakan B.A. Shari‘ah dan B.Sc. Sains, namun B.A. agama langsung tak mampu menghukum B.Sc. Sains, malah sikapnya lebih mengiyakan semata-mata, lalu menimbulkan penyakit jiwa yang dipanggil “kecanggunan pemikiran” = cognitive dissonance, sebagaimana pernikahan antara dua mempelai yang tiada keserasian dan kesefahaman antara mereka. Di Malaysia, satu-satunya IPTA yang cuba mengatasi gegala “kecanggungan pemikiran” ini, iaitu ISTAC yang diasaskan oleh Profesor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas serta dipimpin oleh beliau selama lebih sepuluh tahun, telah diambil-alih oleh pihak-pihak berwajib yang tak erti tugas mereka menjaga amanah keilmuan. Jadi musuh Islam sebenarnya ialah orang Islam sendiri yang tiada ber-ADAB, meskipun bergelar menteri atau profesor, Dr. atau Dato’, Tan Sri, Rektor dan sebagainya, yang semuanya lupa kepada hadith: “man la yashkuru al-nas la yashkuru Allah.”  Kalau dah tak erti ber-ADAB betapa pula erti ber-SHUKUR?
                Pada perenggan yang seterusnya, saya akan bentangkan secara serba ringkas beberapa sudut kesalingkaitan antara agama dengan sains demi memperlihatkan bagaimana agama seharusnya memimpin sains agar sains memberi khidmat kepada agama bukan memberi binasa! Ini juga perlu kepada generasi alim ulama baru yang kuasai ulum diniyyah dan juga ulum aqliyyah agar mereka tidak lagi bersorak di tepi pentas tapi terus MENGHUKUM menjadi HAKIM di TENGAH pentas, malah PENGARAH, sepertimana leluhur kita ulama besar dahulu kala.

2. Kalam dan Sains
Melalui usaha gigih Imam al-Ghazali dan Imam Fakhr al-Din al-Razi membina kalam jadid, falsafah dan sains Yunani ditapis dengan membezakan antara yang betul dengan yang salah dari sudut pandangan alam Islam, lalu apa yang betul diserapkan ke dalam kerangka sistem ilmu ‘aqliyyah Islam. Hasilnya mereka membina fizik jawhar dan aradbagi menggantikan sistem surah dan maddah, membina sistem astronomi baru yang dipanggil ilmu hay’ah bagi menggantikan ilmu nujum, dan sebagainya. Boleh dikatakan bahawa melalui kalam jadid semua segi ‘ulum tabi ‘iyyah telah diislamkan.[28]
                Dalam zaman moden pula timbul cabaran baru daripada faham evolusi Darwinyang menafikan keterlibatan Tuhan di dalam penciptaan dan perkembangan hidupan di bumi. Sebenarnya, golongan kedarwinan ini merupaka puak Dahriyyun yang baru, tapi dimanakah ulama kita yang mampu berdepan dengan mereka dan menolak fahaman mereka yang sesat lagi menyesatkan itu, dengan memanfaatkan semula prinsip-prinsip penghujahan kalam jadid ini?[29]
Kemudian dalam bidang kosmologi moden, wujud pula beberapa teori asal-usul kejadian alam semesta yang seperti faham alam berayun (oscillating universe) dan faham alam mantap (steady-state universe) yang jelas mengepikan peranan Pencipta. Faham deguman besar (big-bang theory) pun telah ditafsirkan secara yang menafikan atau meminggirkan keterlibatan Pencipta. Sedangkan faham Islam ialah faham alam baharu atau faham penciptaan baru (khalq jadid) yang menegaskan bahawa pada setiap detik alam ini dan segala juzuknya diwujudkan dan ditiadakan, maka dengan itu alam ini senantiasa baharu (hadith). Kalau para ulama tak kuasai ilmu fizik Islam sukar bagi mereka untuk berdepan dengan pelbagai teori fizik dan kosmologi moden ini demi membezakan antara mana yang betul dan mana yang salah.
Permasalahan besar bagi kalam jadid berkenaan alam semesta ini ialah: kalau alam ini memang diciptakan oleh Tuhan dan bukan terjadi dengan sendirinya secara spontan, maka apakah ciri-ciri yang dapat dicerapi dalam alam semesta yang menandakannya memang dicipta dan bukan terjadi tersendirinya? Itulah sebabnya mengapa dalam mempelajari ilmu ‘aqidah atau ilmu sifat dua puluh seperti kitab Umm al-Barahin karangan Imam al-Sanusi, kita awal-awal lagi dididik agar cekap berhujah dengan dalil-dalil ‘aqli, iaitu dengan merujuk kepada kejadian dan binaan alama semesta.

3. Kalam dan Matematik
Al-Kindi telah menggunakan kaedah ilmu hisab atau matematik demi membuktikan bahawa alam ini baharu. Fahkr al-Din pula menggunkan ilmu geometri atau handasah demi membuktikan teori jawhar dan ‘arad dan menolak faham surah dan maddah. Perbahasan dawr dan tasalsul dalam kalam turut memiliki aspek matematiknya. Begitu juga faham keciptaan alam. Jelas di sini bahawa matematik boleh dijadikan alat ‘aqli untuk merumuskan persoalan ‘aqidah.[30]
                Kini di barat, para pendukung faham evolusi telah membina sistem penghujahan matematik demi menyokong faham mereka, dan ahli sains Kristian yang menolak evolusi turut juga usahakan sistem penghujahan matematik demi menangkis faham evolusi sekaligus membuktikan faham keciptaan alam. Tapi di manakah peranan alim ulama Islam, khasnya ahli ilmu kalam, yang mengikuti perkembangan tersebut dengan kritis lalu membina kaedah penghujahan matematik demi memperketat dan mengukuhkan lagi hujah-hujah kalam bagi keciptaan alam yang telah dirumuskan oleh al-Jahiz, Imam al-Ghazali, Imam Fakhr al-Din al-Razi, Badi‘uzzaman Sa‘id Nursi dan Profesor Harun Yahya?

4. Tasawwuf dan Fizik
Dari segi pemikiran metafiziknya, ilmu tasawwuf menyentuh hubung-kait antara hakikat yang nisbi dengan hakikat yang mutlak, dengan faham penarafan atau permartabatan wujud daripada yang tertinggi iaitu wujud mutlak kepada yang terendah iaitu alam inderawi ini. Kini persolaan kewujudan atau ontologi ini turut dibahas dalam fizik kenisbian dan juga mekanik kuantum dan ramai juga ahli fizik Islam yang terlibat dalam bidang fizik tersebut tanpa benar-benar menguasai ontologi Sufi. Akhirnya mereka terperangkap dalam kajian yang bersifat kealatan semata-mata tanpa membawa kepada ma‘rifat sebenar akan hakikat kewujudan serta pelbagai martabatnya. Kini juga hampir tiada ulama Islam yang pakar metafizik kesufian serta mampu mengkritik ontologi fizik moden dari sudut ontologi Sufi lalu membimbing ahli fizik Islam supaya membina tafsiran ontologi yang sesuai bagi penemuan-penemuan fizik moden. Gejala ini agak mendukacitakan kerana fizik moden banyak membawa kepada faham wujud dan faham alam yang bertentangan dengan pandangan alam Islam tanpa adanya alim ulama dan ahli fizik Islam yang mampu memberi kritikan balas. Antara usaha mengkritik fizik moden dari sudut pandang metafizik tasawwuf ialah apa yang cuba diusahakan oleh Profesor Dr. Shahidan Radiman ahli fizik di UKM dan juga ahli ASASI. Usaha lain ialah karya Mohamed haj Yousef, Ibn ‘Arabi: Time and Cosmology (London: Routledge, 2008).

5. Ilmu Kalam, Pandangan Hidup Islam dan Falsafah Moden 
Sejak Imam al-Ghazali dan Fakhr al-Din al-Razi, pemikiran falsafah telah diislamkan dan diserapkan ke dalam kerangka pemikiran kalam lalu membuahkan apa yang diungkapkan oleh Ibn Khaldun sebagai kalam jadid. Kerangka kalam jadid berjaya menyerapkan semua bidang aqliyyat ke dalam kerangka keagamaan naqliyyat, dan dengan demikian mengatasi dengan baiknya cabaran ilmiah yang dilontarkan oleh falsafah dan sains Yunani. Kalam jadid telah membuahkan satu rencana penyelidikan jangka panjang di kalangan ulama Ahli Sunnah wal-Jama‘ah di mana ramai di antara mereka yang menceburi lalu menguasai kedua-dua bidang naqliyyat dan ‘aqliyyat dan dengan demikian melaksana proses Pengislaman Ilmu dengan jayanya.
                Kini kita hadapi cabaran yang sama dari sistem ilmu barat sekular, termasuk sistem sains dan falsafahnya yang jelas bercanggahan dengan pandangan alam Islam. Wujud bermacam-macam isme atau faham barat seperti rasionalisme, empirisime, idealisme, modenisme, pasca-modenisme, liberalisme, faham kehakikatan (realism), faham kealatan (instrumentalism), faham evolusi, faham kesejarahan (historicism), faham keraguan (skepticism), faham kelakuan (behaviorism), faham kemodalan (kapitalisme), sosialisme, komunisme dan macam-macam lagi yang turut menjadi kerangka faham bagi sains dan teknologi barat. Oleh kerana boleh dikatakan semua ahli sains kita dilatih di barat atau secara kebaratan, maka sedikit sebanyak cara pemikiran mereka turut diresapi oleh pelbagai isme tersebut sama ada mereka sedari atau tidak, dan ilmu mereka itu turut melahirkan institusi dan dasar yang mencorakkan kehidupan awam tanpa dapat ditegur atau dinasihati alam ulama, demi kerana sistem pendidikan agama arus perdana di Malaysia sekarang mengabaikan sama sekali tradisi pengajian dan penyelidikan kalam jadid ini lalu para alim ulama yang dilahirkan hari ini gagal mempertahankan pandangan hidup Islam yang syumul itu di medan wacana ilmiah awam, lalu agama akhir terhimpit kepada lapangan ibadat dan munakahat peribadi semata-mata.
                Maka adalah menjadi fardu ‘ayn bagi para ulama, khasnya mereka yang bakal menduduki jawatan penting seperti mufti, imam besar, tuan guru pondok dan sebagainya untuk menguasai semula kalam jadid dengan cara yang memungkinkan mereka berdepan dengan gejala faham sekular dengan pelbagai isme-nya yang melanda segenap lapisan masyarakat umat Islam, dari kampong petani ke kabinet menteri. Begitu juga menjadi fardu ‘ayn bagi ahli sains untuk menguasai kalam jadid sekadar yang memampukan mereka mengislamkan secara kritis mana-mana bidang sains tabii mahupun bidang sains sosial yang mereka ceburi. Dalam persoalan besar ini yang berkait rapat dengan keberlangsungan Islam sebagai cara hidup di medan peribadi dan juga medan awam, adalah menjadi kewajipan bagi kita semua untuk mewujudkan kerjasama ilmiah yang lebih rapat di kalangan ulama dan ahli sains agar mereka semua dapat menguasai dan melaksanakan prinsip-prinsip kalam jadid ke dalam usaha membina semula kerangka keilmuan yang mampu menggantikan kerangka keilmuan sekular yang bermaharajalela sekarang.

6. Fiqh, Sains, Falak dan Matematik[31]
(a) Qiblat: Buku Shaykh Nuh Ha Mim Keller, Port in a Storm: A Fiqh Solution to the Qibla of North America yang banyak berpandukan fatwa al-Azhar mengenai permasalahan yang sama jelas mendedahkan bagaimana kecetekan pengetahuan mengenai sains pemetaan (cartography), geometri dan trigonometri di kalangan segelintir alim ulama telah mencetuskan banyak kekeliruan di kalangan orang awam mengenai arah qiblat yang sebenarnya bagi mereka yang menetap di Amerika Utara, sedangkan permasalahan tersebut tidaklah terlalu rumit, dan malah ulama dahulu kala telah pun bicara soal penentuan arah qiblat itu dengan terperinci.
(b) Ru’yat al-Hilal: Kini pula timbul banyak perbalahan di kalangan alim ulama tentang kaedah terbaik bagi melihat anak bulan Ramadan dan Eid yang sekaligus memelihara kehendak Sunnah di samping memanfaatkan ilmu hay’ah dan ilmu astronomi moden. Perbalahan ini timbul kerana mereka yang terlibat, sama ada ahli agama atau ahli sains, (i) tidak benar-benar memahami persoalan fiqh di sebalik isu itu, atau (ii) tidak cukup memahami aspek-aspek teknikal sains astronomi yang berkaitan, atau (iii) kurang memahami hubungkait fiqh dan astronomi dalam soal itu. Sampai sekarang saya tak nampak adanya karangan ulama yang mampu kupaskan permasalahan ini secara menyeluruh dan memuaskan seperti buku Shaykh Nuh Ha Mim Keller dalam soal permasalahan qiblat itu.[32]
(c) Zakat dan Fara’id: Tokoh-tokoh pengkaji sejarah matematik Islam telah mendedahkan bagaimana bidang matematik aljabar (algebra) telah dicipta oleh ulama Islam untuk menangani kerumitan hukum-hakam pembahagian harta pusaka serta pemungutan dan pengagihan zakat, tetapi seterusnya diperkembangkan untuk kegunaan yang lebih meluas. Kini sudah tentu kita perlu kepada pembinaan matematik ekonomi yang baru jika kita ingin membangunkan semula fiqh mu‘amalah sebagai sistem ekonomi Islam menyeluruh demi menggantikan sistem ekonomi neoliberal. Contohnya, faham wang dalam Islam sebenarnya merujuk pada asasnya kepada dinar emas dan dirham perak[33]bukan kepada wang kertas yang hampa nilai, tetapi pembangunan semula sistem wang Islam perlu kepada penguasaan dan pembinaan matematik kewangan yang baru.
(d) Alam Sekitar: Dr. Muhammad Abu Sway sedang mengusahakan apa yang dinamakannya sebagai fiqh al-bi’ah, iaitu fiqh alam sekitar demi menangani permasalahan alam sekitar yang kian meruncing menurut Shara‘. Sebenarnya karya-karya fiqh oleh para fuqaha’ dahulu kala banyak menyentuh kepentingan menjaga kesihatan alam sekitar demi menjaga kepentingan awam (masalih ‘ammah), termasuk merumuskan peraturan-peraturan terperinci tertentu bagi menentukan perkongsian kekayaan alam sekitar sesama insan dan juga di antara insan dan alam, seperti yang jelas ternyata dalam faham pemuliharaan alam sekitar Islam yang dinamakan hima. Sudah tentu perumusan semula fiqh alam sekitar sesuai dengan zaman semasa, khasnya dalam konteks menggubal undang-undang penjagaan alam sekitar, akan menuntut alim ‘ulama mendalami sains ekologi dan kealamsekitaran, dan menuntut pula ahli ekologi mendalamfiqh al-bi’ah, agar wujud secara amali dasar serta peraturan alam sekitar yang bertitik-tolak dari pandangan alam Islam dan Shari‘ah Islamiyyah.[34]
(e) Filahah dan Pemakanan: Kita umum ketahui bahawa kita disuruh dalam al-Qur’an agar memakan makanan yang halalan tayyiban.[35] Tapi adakah perintah itu mungkin terlaksana dalam ertikata sebenarnya bila sistem pertanian (filahah) kita rata-ratanya menggunakan baja kimia dan racun serangga yang membahayakan insan, merosakkan alam sekitar serta meracuni makanan itu sendiri, serta pula binatang ternakan seperti ayam, lembu dan sebagainya dilayan dengan cara yang melanggari fitrahnya seperti dihimpit-himpitkan dalam sangkar atau kandang yang sempit menurut kaedah “factory farming” = perladangan kilang. Itupun belum ambil kira jenis makanan ternakan yang disuapkan kepada ternakan tersebut, serta ubat-ubatan yang perlu disuntik ke dalam badan ternakan itu agar kesihatannya tak terjejas oleh suasana ladang yang merimaskan itu. Dalam industri pemakanan pula terlalu banyak bahan kimia dan bahan pewarna digunakan dalam makanan yang dihasilkan demi tahan lama, sedap rasa, rupa asli, menarik pandang dan sebagainya seperti yang selalu didedahkan oleh CAP = Persatuan Pengguna Pulau Pinang. Kalau kini dah ada fatwa rasmi mengharamkan rokok kerana membahayakan kesihatan, mengapa pula tiada fatwa rasmi yang mengharamkan kaedah pertanian dan perladangan, serta kaedah pembuatan makanan yang terlalu menggunakan bahan-bahan kimia merbahaya, demi menjaga maslahat kesihatan awam? Setahu saya “industri halal” yang kini digembar-gemburkan di Malaysia ini langsung tak menyentuh soal “tayyiban” ini. Malah ini salah satu lagi contoh di mana istilah Islam seperti “halal” dan “mu‘amalah” disalahgunakan demi tujuan perniagaan semata-mata tanpa menghayati pengertian sebenar di sebalik istilah tersebut. Tetapi bagaimana alim ulama nak bersuara sekiranya mereka tidak mendalami sains pertanian dan pemakanan demi mendedahkan kepincangan yang berlaku yang bercanggah dengan masalih ‘ammah, dan bagaimana pula ahli sains pertanian dan pemakanan nak insaf kalau mereka jahil hukum-hakam agama dalam soal ini? Yang malang lagi peliknya, kaedah pertanian dan pemakanan organik atau MESRIA = Mesra Insan & Alam, banyak diusahakan oleh orang Cina yang bukan Islam,[36] padahal umat Islam yang lebih berhak kepada kaedah MESRIA demi kerana ajaran al-Qur’an yang menyeru kepada halalan tayyiban.
(f) Tibb: Banyak kaedah perubatan moden yang lebih membahayakan daripada menyihatkan. Contoh yang agak ketara ialah kaedah viviseksi = kaedah menyiksa binatang hidup-hidup demi menemui ubat baru bagi penyakit insan. Hasil daripada kaedah ini lahir pelbagai ubat-ubat kimia buatan makmal yang mendatangkan pelbagai kesan sampingan yang membahayakan. Sedangkan warisan perubatan Islam yang diusahakan alim ulama[37] kita dahulu kala dan yang sudah bertahan lebih seribu tahun telah menolak kaedah tersebut dari segi hujah sains dan juga hujah etika. Pakar perubatan barat pun dah mula menolak kaedah songsang tersebut serta mencari kaedah pengganti yang lebih ihsani. Pendek kata, alim ulama sekarang tiada titik tolak untuk menilai apatah lagi menghukum perubatan moden jika mereka kurang arif mengenai prinsip-prinsip perubatan Islam dan Barat; dan begitu juga para ahli perubatan profesional jika mereka tak dididik juga dalam prinsip-prinsip perubatan Islam.

7. Kesimpulan: Bagaimana Kita nak Keluar daripada Kemelut Peradaban ini?
Secara umumnya, antara tindakan yang kita boleh ambil ialah penganjuran kursus tersusunatur yang sekali gus bersifat ‘aqli dan ‘amali yang ditawarkan kepada ahli agama dan juga ahli sains dalam bidang falsafah dan sejarah sains menurut kerangka kalam jadid demi mengatur rencana penyelidikan jangka panjang ke arah Pengislaman Sains. Pada masa yang sama, ahli sains juga perlu mengikuti kursus Usul Fiqh dan kursus Maqasid Shar‘iyyah, juga secara ‘aqli dan ‘amali, sekurang-kurangnya sekadar yang dapat menginsafkan mereka agar membina sains dan teknologi yang MESRIA yang benar-benar menjaga maslahat umum dan berkhidmat kepada masyarakat. Pada masa depan persoalan terpenting bukan sama ada sains dan teknologi itu maju dan canggih, tapi sama adakah sains dan teknologi itu MESRIA, iaitu yang terakarumbi dalam masyarakat lalu berkhidmat kepada masyarakat, termasuk memulihara alam sekitar yang menjadi sumber hidup masyarakat.
                Dalam konteks ILIM, khususnya, barangkali boleh diwujudkan satu pusat penyelidikan bagi membantu para alim ulama memahami secara lebih dekat permasalahan-permasalahan sains dan teknologi yang bersangkutan dengan masalih ‘ammah yang perlu mereka bersuara mengenainya dari sudut fiqh dan maqasid shar‘iyyah. Ini akan membawa kepada penglibatan alim ulama yang lebih bermakna dalam isu-isu sains semasa dari segi memberi peringatan kepada ahli sains agar mereka  lebih peka dari segi membangunkan sains dan teknologi yang benar-benar MESRIA dan bukan semata-mata memenuhi kehendak industri dan korporat. Kiranya cadangan ini dilaksanakan maka ILIM mungkin perlu tingkatkan namanya kepada IPLIM (Institut Penyelidikan dan Latihan Islam Malaysia).
                Rakan-rakan seperjuangan saya dalam ASASI, IKIM, WIA, HAKIM, Ta’dib International, CIS, INSISTS, ITMAM dan sebagainya, sanggup bekerjasaama membina kursus-kursus tersebut dengan mana-mana badan berwajib agama yang ingin meletakkan semula sains dan teknologi di bawah telunjuk ajar agama agar mengarah kepada kesejahteraan sebenar di dunia dan di Akhirat kelak. Kini insan dah sedar betapa sains dan teknologi sekular moden telah membawa malapetaka kepada insan dan alam di serata dunia, maka mereka akan kembali kepada sains sebenar yang MESRIA yang berpandukan tunjuk ajar agama samawi, dan di sini-lah letaknya peranan alim ulama bagi membimbing mereka agar membawa kepada penyatuan semula agama dan sains di bawah naungan wahyu ilahi. Usaha pengislahan sains dan teknologi, termasuk sains sosial yang digariskan di atas memerlukan gandingan ilmiah yang lebih rapat, akrab lagi terperinci di antara alim ulama dengan ahli akademik. Semoga makalah serba ringkas dapat membuka pemikiran pihak-pihak berwajib ke arah usaha murni itu.

Rabbana’ftah baynana wa bayna qawmina bil-haqq wa anta khayr al-fatihin,
Amin Ya Rabbal-‘Alamin.

8. Notakaki & Rujukan
Memandangkan kesuntukan masa dan kehambatan tugas, maka di sini saya tak dapat memberikan nota dan rujukan lengkap yang menyeluruh. Mungkin dalam kesempatan lain bila makalah ini dikembangkan lagi menjadi buku, notakaki dan rujukan yang lebih lengkap akan dimuatkan. Maka di sini cuma dimuatkan notakaki dan rujukan serba ringkas. Parapembaca yang inginkan maklumat atau perincian atau perbincangan lanjut boleh hubungi saya terus melalui emel: adisetiawangsa@gmail.com, atau bertemu dengan saya di pejabat saya di IIUM, Gombak.


[1] Kertas kerja dibentangkan sempena Seminar Pendidikan Islam ke VI: Budaya Ilmu Ke Arah Pemerkasaan Umat, anjuran Kolej Dar al-Hikmah dengan kerjasama Institut Latihan Islam Malaysia (ILIM), Bandar Baru Bangi, Selangor, pada 14 hb. Mac 2009.
[2] Pensyarah Sejarah & Falsafah Sains, Jabatan Pengajian Umum, Universiti Islam Antarabangsa Malaysia, Gombak, Kuala Lumpur; Ahli Jawatan Kuasa Pusat, Akademi Sains Islam Malaysia (ASASI); dan Penyelidik Bersekutu, Institut Penyelidikan Matematik Malaysia (INSPEM), Universiti Putra Malaysia, Sedang, Selangor.
[3] Lihat kupasan terperinci dalam Osman Bakar, Classification of Knowledge in Islam
[4] Contohnya seperti yang dihuraikan oleh Imam al-Ghazali dalam al-Mustasfa, al-Shatibi dalam al-Muwafaqat, ‘Izzuddin ‘Abdussalam dalam Qawa‘id al-Ahkam fi Masalih al-Anam.
[5] Contohnya seperti yang ditunjukkan oleh Imam Fakhr al-Din al-Razi dalam al-Matalib al-‘Aliyyah dan Mafatih al-Ghayb.
[6] Seperti yang dihuraikan oleh Ibn Khaldun dalam Muqaddimah; lihat kupasan oleh Muhsin Mahdi, Ibn Khaldun’s Philosophy of History (Kuala Lumpur: IBT,   ).
[7] Khasnya dalam al-Mabahith al-Mashriqiyyahal-Matalib al-‘Aliyyah dan Mafatih al-Ghayb.
[8] Dalam kitabnya, Tawali‘ al-Anwar.
[9] Seperti dalam al-‘Aqa’id al-Nasafiyyah yang disyarah oleh al-Taftazani; lihat kupasan oleh Profesor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas  dalam karyanya, The Oldest Known Malay Manuscript (Kuala Lumpur: The Other Press, 2006 ).
[10] Lihat kajian Professor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas, Hujjat al-Siddiq.
[11] Lihat karya besar beliau, Rasa’il al-Nur dan kupasan oleh Adi Setia, “Taskhir, Fine-Tuning, Intelligent Design and the Scientific Appreciation of Nature,” dalam Islam & Science (Summer 2004); juga kupasan oleh Yamine Mermer dan Reda Ameur, “Beyond the ‘Modern’: Sa‘id al-Nursi’s View of Science,” dalam Islam & Science (Winter 2004).
[12] Seperti dalam kitabnya, al-Intibah al-Mufidah yang diterjemahkan oleh ke dalam bahasa Inggeris sebagai Answer to Modernism.
[13] Science and Civilization in Islam.
[14] Seperti dalam Islam and the Philosophy of Science; lihat kupasan dalam Adi Setia, “Al-Attas’s Philosophy of Science: An Extended Outline,” dalam Islam & Science (Winter 2001).
[15] Contohnya dalam kitabnya Evolution Deceit yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu sebagai Penipuan Evolusi.
[16] Lihat karya-karya beliau seperti Budaya Ilmu dan Pembangunan di Malaysia.
[17] Huraian lanjut dalam Adi Setia, “Adi Setia: PengIslaman sains sebagai atur cara penyelidikan jangka panjangberpandukan kefahaman dan tatakaedah  tajaan Ibn Haytham, Kalam Jadid  dan al-Fakhr al-Razi,” dalam Kesturi 2007, 17 (1 & 2):1-33.
[18] Lihat huraian lanjut dalam Adi Setia, “Rencana Penyelidikan Matematik Huluan: Huraian dan Contoh Ringkas,” dalam MathDigest, INSPEM (bakal terbit tahun ini).
[19] Mat Rofa Ismail, Sejarah Arimetik dan Aljabar Islam (Serdang: UPM, 1995).
[20] Sila rujuk siri penerbitan Sains Islam yang diusahakan Profesor Fuat Sezgin di Frankfurt.
[21] Lihat Muqaddimah Ibn Khaldun.
[22] Huraian lanjut dalam Adi Setia, “The Theologico-Scientific Research Program of the Mutakallimun,” dalam Islam & Science (Winter, 2005 ).
[23] Lihat siri karya penyelidikan beliau yang diterbitkan oleh Khazanah Fathaniah, serta siri makalah ilmiah beliau yang diterbitkan dalam Utusan Malaysia.
[24] Contohnya Shaykh Yasin al-Fadani, ulama besar Melayu yang menetap dan mengajar di Makkah.
[25] Contohnya kitab beliau bertajuk ‘Alam al-Hussab fi ‘Ilm al-Hisab dan Rawdah al-Hussab fi ‘Ilm al-Hisab.
[26] Lihat kajian oleh Wan Azhar Wan Ahmad, Public Interests (al-Masalih al-Mursalah) in Islamic Jurisprudence: An Analysis of the Concept in the Shafi‘i School (Kuala Lumpur: ISTAC, 2003).
[27] Krisis ilmu dan krisis peranan ilmuwan termasuk peranan ulama ada dikupas sedikit sebanyak oleh Profesor Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam karya beliau,Risalah untuk Kaum Muslimin (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001) khasnya Perenggan 15—20 berkenaan “Faham Ilmu,” Perenggan 31 berkenaan “Faham Perubahan, Pembangunan dan Kemajuan,” dan Perenggan 71—74 berkenaan “Faham Sekular dan Pensekularan.” Tapi seluruh buku itu perlu diteliti dan dikursuskan kepada alim ulama agar mereka benar-benar dapat memahami lalu mengatasi cabaran pensekularan yang melanda negaraMalaysia kita yang tercinta ini.
[28] Huraian lanjut dalam Adi Setia, “The Physical Theory of Fakhr al-Din al-Razi,” risalah kedoktoran di bawah seliaan Profesor Dr. Cemil Akdogan (Kuala Lumpur: ISTAC, 2004); lihat juga Adi Setia, “Atomism versus Hylomorphism in the Kalam of Fakhr al-Din al-Razi with Special Reference to the Matalib ‘Aliyyah,” Islam & Science (Winter, 2006).
[29] Lihat kupasan dalam Nuh Ha Mim Keller, Evolution Theory & Islam (Cambridge: Muslim Academic Trust, 1999).
[30] Adi Setia, “Kalam dan Matematik dalam Tradisi Intelektual Islam,” kertas kerja dibentang di Seminar Sehari Sains Matematik Rumpun Melayu anjuran INSPEM/ASASI di Putrajaya pada  21 November 2007.
[31] Huraian menarik dalam George Saliba, Islamic Science and the Making of the European Renaissance (CambridgeMA: MIT, 2007)
[32] Sila lihat huraian lanjut permasalahan ru’yat al-hilal ini dalam Hamza Yusuf,Caesarean Moon Births: Calculations, Moon Sighting, and the Prophetic Way(BerkeleyCA: Zaytuna, 2007).
[33] Lihat al-Maqrizi, al-Nuqud al-Islamiyyah; juga S. Mohammad Ghazanfar dan Abdul Azim Islahi, Economic Thought of al-Ghazali (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1997).
[34] Huraian lanjut dalam Ahmad Ali, Cosmopolitan Orientation of the Process of International Environmental Lawmaking: An Islamic Law Genre (LanhamMaryland: University Press of America, 2001).
[35] Shaykh ‘Abdal-Hakim Murad berkata: “According to the Qur’an, for food to be acceptable to Muslims, it must not only be halal, but ‘wholesome’ [tayyiban], which means, among other things, that it must not be injurious to health.” Lihat terjemahan beliau kepada kitab Imam al-Bayhaqi, The Seventy-Seven Branches of Faith (Singapura: Pustaka Nasional, 1990).
[36] Contoh paling ketara ialah bahawa satu-satunya sawah padi berdasarkan kaedah organik atau kaedah mesria di Malaysia ialah yang diusahakan oleh orang Cina di Kahang, Johor.
[37] Contohnya Shaykh Ahmad bin Muhammad Zayn al-Fatani, Luqtat al-‘Ajlan fi ma tamassa ilayhi Hajat al-Insan dan Tayyib al-Ihsan fi Tibb al-Insan, kedua-duanya diterbitkan oleh Khazanah Fathaniah.

artikel ini diambil daripada blog Rausyanfikir.com disini


Hazabe al-Kelantani