Oleh Dr. Khalif Muammar
Pertama: Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan meyakini bahwa aku berada
dalam kebenaran. Bagiku Islam dan iman adalah hidayah dan nikmat yang telah
Allah kurniakan kepadaku, karenanya keyakinanku tidak mungkin bersifat tentatif.
Hanya dengan keyakinan seperti ini aku mampu menyampaikan pesanan Tuhan dengan
pasti (‘ala basiratin). Karena diperkuat dengan ilmu, keimananku terhadap Allah,
al-Qur’an dan Nabi Muhammad serta risalah yang dibawanya tidak akan goyah
meskipun terdapat tuduhan dan distorsi ke atas ajaran Islam.
Setelah mendalami ilmu-ilmu Islam, dan bukan secara a priori maupun taqlid,
aku mengerti bahwa Iman bukan hanya suatu kepercayaan, tetapi merupakan
keyakinan di dalam lubuk hati, pernyataan melalui lisan dan dibuktikan dengan
perbuatan sebagai tanda berserah diri kepada kehendak Yang Maha Esa. Aku
memahami Ibadah bukan hanya sebatas ritual dan spiritual, tetapi sebagai
penghambaan diri terhadap Allah swt dalam segenap bidang kehidupan. Keyakinanku
akan kebenaran ajaran Islam bertitik tolak daripada keyakinanku bahwa knowledge
is possible dan seperti diungkapkan oleh al-Nasafi bahwa hakikat sesuatu itu
tetap dan ilmu mengenainya adalah sesuatu yang pasti (haqa’iq al-ashya’ thabitah
wa al-ilmu biha mutahaqqiqun).
Kedua: Aku bersetuju dengan pandangan para sarjana Muslim, seperti Muhammad
Iqbal, al-Attas dan al-Faruqi, bahwa masalah utama umat Islam adalah krisis
ilmu. Bahwa jalan untuk mengembalikan kegemilangan tamadun Islam adalah melalui
pemerkasaan budaya ilmu, pencerahan dan pemberdayaan Ummat. Maka tanggungjawab
para cendekia Muslim adalah membebaskan umat Islam dari belenggu kejahilan
termasuk kejahilan tentang Islam itu sendiri. Pada hari ini yang menjadi kendala
adalah kekeliruan epistemologi: ketidakmampuan kaum intelektual Muslim mengatasi
polemik akal dengan wahyu telah menambah lagi kekeliruan dan kejahilan ini. Aku
melihat bahwa justeru sebagian intelektual Muslim dipengaruhi pemikiran sekular
Barat dan terperangkap dalam dikotomi: liberal versus literal, sakral versus
mundane, objektif versus subjektif, progresif versus konservatif, teokrasi
versus demokrasi. Dualisme dan dikotomi berlaku di Barat karena kegagalan Gereja
mengakomodasi modernity dan kemajuan manusia.
Bagiku, Islam telah memberikan kedudukan yang sewajarnya kepada akal. Cukup
tinggi karena dengannya misi kekhalifahan hanya mungkin tercapai tetapi tidak
terlalu tinggi untuk didewakan atau disejajarkan dengan wahyu. Akal dan
kebenaran yang diperolehinya tidak berdiri sendiri. Setelah mendalami
epistemologi Islam, aku mengerti bahwa kebenaran sains harus tunduk kepada
kebenaran wahyu dan bukan sebaliknya. Akal dan sains harus akur dengan
keterbatasannya dan bahwa dalam perkara-perkara tertentu tidak mampu menjelaskan
secara saintifik. Bagi kaum sekular kebenaran sains dan kebenaran agama dilihat
secara terpisah. Bagiku kebenaran sains adalah kebenaran yang datang dari
Tuhan, karena sains mengkaji fenomena kejadian makhluk Tuhan yang mengikuti
sunnatullah. Demikian juga, kebenaran wahyu tidak akan bertentangan dengan
kebenaran akal, jika akal memperolehinya dengan metode yang benar.
Sebagai seorang Muslim sejati, aku mengerti bahwa al-Qur’an sebagai pembimbing
akal telah menjelaskan hakikat-hakikat kehidupan ini dengan begitu gamblang.
Tugas akal fikiran hanya perlu memahaminya dan mengembangkannya. Bagiku, tiada
dikotomi antara al-Qur’an dan akal, keduanya berjalan seiring, karena, seperti
dinyatakan oleh mantan Shekh al-Azhar Abdul Halim Mahmud, Al-Qur’an adalah kitab
akal karena seluruh kandungan al-Qur’an mengarah kepada pembebasan akal dari
lingkarannya yang sempit.
Rabunnya umat Islam dalam membaca dan lumpuhnya mereka dalam berfikir tiada
kaitan dengan al-Qur’an. Karena sehebat manapun pembimbing tidak akan bermakna
apa-apa kalau yang dibimbing tidak ada kemahuan untuk memperbaiki dirinya. Oleh
karenanya aku sedar, dalam hal ini bukan salah Islam sehingga ia perlu dirubah
dan bukan juga salah Barat sehingga ia perlu dimusuhi, tetapi salah umat Islam
karena memiliki apa yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal “ego (khudi) yang lemah”
atau meminjam istilah Malik Bennabi, mempunyai sikap qabiliyyat li al-isti’mar
(kecenderungan untuk dijajah).
Ketiga: Dalam menghadapi kemajuan (modernity), yang pada hari ini disinonimkan
dengan Barat, aku tidak akan bersikap terlalu terbuka (silau) dan tidak juga
tertutup (konservatif). Islam mengajarku untuk selalu berusaha menggapai
kecemerlangan dan membangunkan diri, bangsa dan masyarakat. Melalui pembacaanku,
aku sedar bahwa Islam telah disalahfahami oleh sebagian umat Islam yang anti
kemajuan dan anti perubahan. Tetapi juga di sudut yang lain, Islam telah
disalahfahami oleh golongan Muslim sekular yang menganggap agama sebagai
penyebab kemunduran, oleh karenanya, menurut mereka agama perlu dibatasi hanya
pada ruanglingkup kehidupan peribadi.
Untuk mengatasi dualisme pemikiran ini, aku menyadari perlunya rekonsepsi
(membetulkan kefahaman) terhadap Islam. Melalui penulisan para sarjana Muslim
yang otoritatif aku mengerti bahwa Islam sebenarnya bersifat
transformatif-liberatif: membawa misi perubahan dan pembebasan manusia
sebagaimana terbukti pada generasi awal Islam. Apabila realitasnya pada hari
ini Islam tidak menjadikan ummat Islam maju dan bebas dari segala bentuk
belenggu dan penindasan, ini bermakna wujudnya korupsi dalam memahami Islam. Aku
yakin, seandainya Islam difahami dengan betul dan dilaksanakan dengan baik maka
Islam mampu menjadi civilizing force, sebagaimana telah terbukti dalam sejarah
Islam.
Keempat: Aku akan menjadikan tradisi sebagai landasan untuk aku berpijak.
Bagiku tiada sebab mengapa aku harus membenci tradisi karena ia tidak
membelengguku atau menghalangku untuk maju dan menjawab permasalahan zaman
mengikut keyakinanku. Bagiku, masa lalu amat penting karena tiada seorang pun
manusia yang mampu mengetahui jati dirinya tanpa memikirkan masa lalunya. Aku
berbangga dengan pencapaian para ulama silam, meskipun aku sedar kebesaran
mereka tidak seharusnya menjadikan generasi hari ini kerdil. Justeru, dengan
khazanah yang mereka tinggalkan aku harus mampu lebih maju lagi kedepan.
Ketinggian golongan ulama bagiku adalah karena tawfiq dan inayah Allah swt dan
dekatnya mereka akan nuansa dan legasi yang ditinggalkan oleh Rasulullah saw.
Karenanya, baik ulama klasik maupun kontemporer adalah golongan yang diberi
amanah oleh Allah dan bukan status sosial maupun keagamaan yang bisa
dibanggakan. Oleh karenanya amanah ini mesti dilaksanakan dengan berani dan
jujur. Namun demikian, aku sedar, mereka tidak suci atau ma’sum dan mereka bukan
wakil Tuhan. Segala pandangan mereka harus kuterima selama mereka punya hujjah
yang kuat dan terbukti kebenarannya, namun andainya terbukti bahwa pandangan
mereka ternyata tidak benar atau bertentangan dengan kebenaran al-Qur’an dan
al-Sunnah, maka tidak perlu kuterima. Sepanjang pengetahuanku, Golongan ulama
ini tidak bisa disamakan dengan golongan agama yang punya hak paten dalam
memahami agama dan berbicara atas nama Tuhan. Karena bagiku, semua orang Islam
adalah golongan agama yang seharusnya menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
Kelima: Aku mempelajari filsafat Barat untuk tujuan perbandingan. Aku tidak
akan terikut-ikut karena sebagai seorang Muslim aku memiliki worldview dan
framework tersendiri dalam berfikir. Aku tidak tertegun dengan konsep cogito
ergo sumnya Descartes, atau existence preceeds essencenya Sartre, atau knowledge
is powernya Foucault dan Bacon, hatta dalam perkara tertentu aku langsung tidak
tertarik untuk mengagungkan contohnya Locke karena konsep natural rights: life,
liberty and property. Aku tidak merasa heran dengan filsafat Barat karena aku
sudah terlebih dahulu mengetahui bahwa, seperti diungkapkan oleh Muhammad Iqbal,
the birth of Islam is the birth of inductive knowledge, juga seperti diungkapkan
oleh al-Ghazali dan al-Shatibi bahwa hukum Islam sebenarnya dibuat untuk
melindungi kemaslahatan/kebaikan ummat manusia: agama, jiwa, akal, kehormatan
dan harta. Aku mempelajari pemikiran Barat untuk memahami Barat. Dengan
demikian aku dapat memperkukuh keyakinanku dan kalau aku
mampu, seperti yang telah dilakukan oleh imam al-Ghazali, membatalkan
tesis-tesis mereka yang mengelirukan dan dengan itu aku telah berjuang untuk
Islam.
Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa akal tidak bisa dijadikan setanding
dengan wahyu. Sebagai peneliti Muslim aku percaya bahwa pencarian akal dalam
Islam dibimbing oleh wahyu. Oleh karenanya terdapat ruang objektivitas dan ruang
subjektivitas yang perlu dihormati: ruang yang pasti di mana tidak perlu untuk
akal bereksperimen di samping juga ruang untuk perbedaan penafsiran selama dalam
framework Islam. Teori mengenai realitas kehidupan yang selalu berubah dan
terlalu dominannya elemen subjektivitas dalam filsafat Barat, bagiku membuktikan
bahwa Barat dengan rasionalismenya tidak akan menemukan jalan kebenaran. Maka
aku mendapati bahwa semakin jauh pengetahuanku terhadap filsafat Barat semakin
dekat diriku terhadap kebenaran Islam.
Islam mengajarku agar mengambil hikmah/kebijaksanaan dari mana saja datangnya.
Oleh karenanya tidak salah, malah digalakkan, mempelajari Sains dan Teknologi
yang hari ini dikuasai oleh Barat agar dengannya ummat ini dapat mengecapi
kemajuan dan merealisasikan misinya sebagai khalifah Allah di muka bumi. Aku
akan mempelajari filsafat Barat agar aku mampu untuk membuat perbandingan dan
penilaian sebelum aku mampu menyumbang dalam wacana keintelektualan Islam.
Namun, aku sedar sebagaimana ditekankan oleh al-Attas bahwa ilmu pengetahuan
Barat tidak value-free (bebas nilai), aku tetap akan meyakini hal ini walaupun
andainya Thomas Kuhn tidak menulis The Structure of Scientific Revolutionsnya,
oleh karenanya aku harus mampu membedakan antara ilmu dengan nilai-nilai sekular
yang mengiringinya sebelum proses Islamisasi dapat kulakukan. Penghormatanku
terhadap keintelektualan Barat tidak seharusnya menjadikanku hanyut sehingga
merubah jati diriku.
Keenam: Sebagai seorang Muslim sejati, aku akan melaksanakan Islam sebagai
satu cara hidup yang lengkap, oleh karenanya aku akan menentang sekularisme dan
sekularisasi di dunia Islam. Bagiku, orang yang memisahkan Islam dari segenap
aspek kehidupan manusia adalah orang yang sombong dan congkak. Karena menganggap
panduan dan bimbingan akal, yang dicipta oleh manusia-manusia sekular, lebih
baik daripada petunjuk al-Qur’an.
Aku sedar, keadilan, keharmonian dan keamanan hanya akan tercapai sepenuhnya
dengan mengikut ajaran al-Qur’an. Sedangkan demokrasi liberal, kapitalisme,
utilitarianisme dan isme-isme lainnya hanya menjanjikan angan-angan. Alasannya
jelas, ketika Islam berbicara mengenai keadilan, kesejahteraan, dan keharmonian
ia dikemas dengan keindahan iman, taqwa dan akhlak, sedangkan filsafat Barat
membicarakannya secara dikotomis.
Aku mengerti bahwa tipologi memberikan kelebihan kepada Barat, karenanya aku
harus berhati-hati agar tidak terpengaruh dengan labelisasi mereka. Label
fundamentalis diberikan oleh Media Barat, dengan pelbagai konotasi negatifnya:
terorisme, militan dll., keatas orang Islam yang menjadikan Islam sebagai cara
hidup. Kalau ternyata istilah fundamentalis tidak digunakan oleh Media terhadap
penganut agama lain yang melakukan hal yang sama maka jelas pelabelan ini
memiliki niat yang tersembunyi.
Dengan andaian ancaman gerakan fundamentalisme inilah maka dimasukkan wacana
liberal dalam pemikiran Islam. Tidak sedikit yang terperangkap dalam dualisme
dan dikotomi ini, oleh karenanya, dengan ilmu dan kebijaksanaan yang diberikan
oleh Islam, aku tidak seharusnya ikut terperangkap. Andai dapat dibuktikan bahwa
kemunculan golongan yang dikatakan fundamentalis ini tidak mengancam maka jelas
bahwa eksistensi mereka sebenarnya tidak berasas.
Ketujuh: Bagiku, metode hermeneutika hanya pantas diterapkan pada Bible. Ini
karena, baik dari segi sejarah maupun kandungan, al-Qur’an dan Bible jauh
berbeda. Tiada sebab untuk aku mengikuti metodologi pentafsiran Bible karena aku
tidak mengalami masalah yang dialami oleh penafsir-penafsir Bible. Mempelajari
al-Qur’an dengan ilmu, iman dan kejujuran membawaku kepada keyakinan akan
kesempurnaan al-Qur’an. Tiada satupun ayat di dalamnya yang boleh dikatakan
bermasalah atau kontradiktif. Selain itu, sebagaimana terbukti dengan kajian
al-‘Azami: The History of The Qur’anic Text, keistimewaan al-Qur’an adalah
terjaganya kemurnian dan kesucian al-Qur’an sepanjang sejarah. Hal inilah yang
sehingga kini dicemburui oleh kaum Orientalis yang berusaha untuk menggoyahkan
keyakinanku ini.
Penafsiran literal terhadap al-Qur’an memang sering dilakukan oleh para ulama.
Namun sering juga para ulama tidak terpaku pada makna literal, sebaliknya
melihat maksud ayat yang tersirat dan menyesuaikan nass-nass juz’iyy dengan
maqasid kulliyyyah Shari’at Islam. Setelah aku memperdalam ilmuku tentang
Shari’ah aku akan mengerti bahwa kedua-dua pendekatan literal dan liberal
terhadap maqasid shari’ah tidak tepat. Pendekatan yang benar dan selalu
ditekankan oleh ulama-ulama mu’tabar dari dulu hingga sekarang adalah pendekatan
yang oleh al-Qaradawi disebut dengan al-wasatiyyah.
Kedelapan: Sebagai seorang Muslim sejati, aku tunduk sepenuhnya dengan
perintah dan aturan yang diberikan oleh al-Qur'an dan al-Sunnah. Shari’ah datang
daripada Allah swt dan bukan, sebagaimana yang sering diperkatakan oleh
Orientalis, produk para ulama. Bagiku, Shari’ah bukan hanya teks-teks suci, ia
juga bukan apa yang terkandung di dalam kitab-kitab Fiqh. Ketika Sayyidina Umar
menangguhkan hukum potong tangan pada ‘am al-maja’ah (tahun kelaparan),
ketetapan itu bukan pandangan subjektif beliau tetapi adalah hukum Shari’ah.
Karena beliau tidak terpaku pada teks secara literal tetapi mengembalikan
teks-teks juz’i kepada maqasid kulliyyah yang sebenarnya sebagian daripada
Shari’ah.
Oleh karena aku menyedari kelemahanku dalam menafsirkan al-Qur'an maka aku
merujuk kepada pandangan para ulama yang berotoritas. Mereka sangat berotoritas
karena mereka menguasai ilmu-ilmu yang diperlukan dalam memahami al-Qur'an.
Lebih daripada itu dengan bimbingan iman mereka juga faham akan kehendak Tuhan.
Bagiku ilmu adalah amanah dan pemberian Tuhan, oleh karenanya kepintaran
semata-mata tidak meletakkan seseorang itu menjadi orang yang otoritatif dalam
keilmuan Islam.
Kesembilan: Karena aku memiliki worldview Islam, Aku tidak akan hanyut dengan
tren pemikiran Barat yang kabur dan selalu berubah. Post-modernisme yang
menjadikan kegagalan dan kesempitan modenisme sebagai raison d’êtrenya hanya
mempunyai legitimasi di tengah obsesi Barat terhadap kuasa dan ketunggalan. Dari
awal kemunculan Islam, jelas bahwa Islam menerima pluralitas/kepelbagaian
sebagai lumrah kehidupan. Karena keadilan menjadi nilai utama dalam ajaran
Islam, Islam selalu berada bersama kaum yang tertindas, terlupakan dan
teraniaya. Konflik antara Islam dengan agama lain timbul disebabkan faktor
politik dan bukan faktor teologi. Hal ini tidak sesekali memberikan justifikasi
ke atas konsep pluralisme agama. Sebagai seorang Muslim aku percaya bahwa agama
Tuhan yang benar hanyalah satu, yang berbeda dan berbagai adalah shari’atNya.
Oleh karena Shari’at Muhammad adalah penutup maka hanya Shari’ah Muhammad saw
yang benar.
Keyakinanku bahwa hanya ada satu kebenaran tidak bercanggah dengan kemungkinan
wujudnya kebenaran pada orang lain. Dalam permasalahan ijtihadiyyah, aku tidak
akan mengatakan hanya pendapatku saja yang benar dan pendapat orang lain adalah
salah. Pendekatan para ulama ini tidak membawaku kepada subjektivisme, seperti
yang dilakukan oleh Khaled Abou el-Fadl, kerana ia hanya berlaku hanya pada
realm ijtihadiyyah. Bagiku, tidak mungkin Tuhan menurunkan wahyu sebagai
pembimbing manusia jika, pada masa yang sama, Tuhan mengatakan bahawa tiada yang
mengetahui maksud firmanNya melainkan diriNya. Kuatnya elemen subjektivisme dan
penghapusan objektivitas dalam pemikiran post-modernisme akan membawa kepada
nihilisme dan ketiadaan kebenaran. Tentunya hal ini akan memberik dampak yang
besar kepada agama dan kemanusiaan.
Terakhir, Aku akan sentiasa berdoa agar aku sentiasa berada dalam hidayah dan
‘inayahNya. Agar aku terhindar dari tergolong dalam orang-orang yang telah
menerima bayyinat lalu tersesatkan. Agar aku sentiasa berada dalam keimanan dan
ketaqwaan sampai akhir hayatku.